Menulis Cerita Sejarah Pribadi

 

Bandung, Kobaran Api Cintaku

Dayeuhkolot, 1943

Pagi mulai menyapa, fajar mulai menyingsing di ufuk timur menampakkan sinarnya, mencoba menembus celah-celah rumah yang mayoritas berdinding gubuk. Lubang-lubang yang ada di dinding membuat sinar fajar mudah masuk ke dalam rumah, mencoba menghangatkan pagi yang dingin ini. Ayam jantan milik Mang Aso mulai saling bersahut-sahutan. Saling berlomba, berkokok dengan nyaring meramaikan suasana pagi hari. Aku bergegas keluar kamar setelah selesai memakai baju, mencoba melihat kedaan diluar dan mencari keberadaan emak. Sambil bersandar di kusen pintu, kulihat emak dengan kain samping dililit di pinggang sedang memeras baju sebelum dijemur di kawat yang membentang. Begitulah emak, setiap hari, selepas shalat shubuh, emak akan langsung membawa pakaian kotor ke sungai untuk dicuci. Bukan tanpa alasan emak harus nyubuh sekali untuk mencuci baju, karena jam enam pagi emak harus sudah pergi ke kebun teh milik Baba Athong untuk bekerja. Semenjak aku kecil, emak sudah menjadi ibu sekaligus seorang bapak untukku. Kata emak, bapak adalah seorang pejuang kemerdekaan, seorang pahlawan sejati yang rela mati demi tanah air. Aku tidak begitu ingat sosok bapak, karena menurut cerita emak, bapak terbunuh saat sedang melakukan perlawanan terhadap Belanda dan saat itu usiaku masih empat tahun. Melihat kerja keras emak demi kehidupan kami, membuatku bertekad untuk selalu membahagiakan emak.

            “Haru! Lagi apa diam di lawang pintu? Gak baik, nanti jodoh kamu gak datang-datang!” aku yang sedang melamun, terkaget mendengar omelan emak yang tiba-tiba. Terlalu hanyut dalam lamunan yang aku ciptakan membuat aku tidak sadar jika emak sudah selesai menjemur pakaian.

            “Tadi Haru cari emak, eh,, emak lagi jemur baju, ya sudah Haru liatin dari sini.”

            “Dasar, liat emaknya lagi riweuh bukan dibantu malah diliatin. Udah makan belum? Emak udah goreng asin sama lalap daun sampeu.” Mendengar kata ikan asin seketika membuatku lapar. Ikan asin memang menu makanan favoritku. Aku bisa menambah berkali-kali jika makan ditemani dengan ikan asin.

            “Ayo, emak juga makan. Haru juga sudah lapar”, jawabku sambil menarik tangan emak menuju dapur untuk makan.

            Aku dan emak makan dengan lahap, meskipun menu pagi ini sederhana, tetapi kami masih bersyukur karena masih diberi rezeki oleh Allah. Kami masih bisa makan untuk mengisi tenaga kami dalam menghadapi aktivitas kami hari ini. Untuk bekerja di kebun teh emak tentu perlu tenaga yang cukup. Begitupun denganku yang akan bekerja di bengkel hari ini.

***

            Bengkel motor kecil yang terletak satu kilometer dari rumahku ini, sudah seperti rumah kedua bagiku. Sudah bekerja hampir tiga tahun lamanya mampu membuatku dengan lantang mengakui bahwa bengkel adalah rumah keduaku. Sebetulnya bengkel motor ini tidak terlalu luas hanya terdiri dari sebuah ruangan berukuran 4x4 meter dengan pintu berbentuk rolling door dan halaman depan yang luas yang dibatasi pagar kayu dibagian depan sebagai pembatas dengan jalan besar. Selain itu lantainya hanya dilapisi tembok semen yang penuh dengan oli yang berceceran. Letaknya yang pas dipinggir jalan besar membuat bengkel ini mudah diketahui orang. ‘Bengkel Motor Mamoru’ adalah tulisan dalam plang kayu yang tertempel di pagar depan agar memudahkan orang untuk mengenali bengkel motor ini. Bengkel ini memang bukan milik orang pribumi, melainkan milik seorang tentara militer Jepang angkatan darat yang ditugaskan di Indonesia. Letak bengekel ini pun tidak jauh dari rumah dinas Tuan Ikada Mamoru, kurang lebih berjarak 500 meter.

            Sesampainya di bengkel, ternyata sudah ada Uwa Imadudin, atau aku memanggilnya Uwa Udin yang sudah mulai mengutak-atik mesin motor. Sepertinya ia melanjutkan pekerjaannya semalam yang belum selesai.

            “Nah, akhirnya kamu sampai juga Gaharu, tuh, sudah ada satu motor yang datang, coba kamu cek. Pemiliknya mau mengambilnya sore ini!” titah Uwa Udin. Seperti ini lah keseharianku, datang ke bengkel lalu berkutat dengan oli, mesin, dan perkakas lainnnya. Jika tidak aku yang datang pertama pasti Uwa Udin yang datang lebih dahulu. Alhamdulillah bengkel tidak pernah sepi, selalu saja ada pelanggan. Bahkan di awal pagi seperti hari ini.

            “Siap Wa. Langsung saya bereskan.”

            Aku sudah bekerja di bengkel motor Tuan Mamoru sejak usia 13 tahun. Saat itu, aku dan teman-temanku terpaksa berhenti sekolah karena keadaan dunia yang sedang genting akibat perang. Dengan kondisi yang serba sulit itu, akhirnya sekolah kami tutup. Aku yang tidak tahu harus melakukan apa selepas keluar dari sekolah, akhirnya mengikuti emak ke kebun Baba Athong. Di sana aku bertemu dengan Uwa Udin, beliau di sana bekerja sebagai sopir pengantar hasil panen teh untuk diolah di pabrik. Sejak saat itu, aku mulai dekat dengan Uwa Udin, bahkan mengikuti kemanapun Uwa Udin pergi. Sampai-sampai aku mengikuti Uwa Udin yang harus bekerja di rumah Tuan Mamoru sebagai tukang kebun. Aku ikut membantu pekerjaan Uwa Udin, seperti mencabut rumput, membersihkan halaman, dan memotong daun-daun liar yang tumbuh. Aku rela bekerja apapun asal dapat ikut kemanapun Uwa Udin bekerja. Melihat aku yang selalu mengikuti Uwa Udin, Tuan Imamoru menawariku pekerjaan untuk menjadi montir di bengkel motor miliknya yang memang sudah lama tidak beroperasi. Aku yang ditawari pekerjaan tentu langsung mengiyakan tawaran itu. Dan akhirnya hingga saat ini aku dan Uwa Udin masih tetap mengelola bengkel motor ini sampai ramai pelanggan seperti sekarang.

            Saat sedang serius memperbaiki rantai motor yang sudah karatan ini, sayup-sayup aku mendengar suara salam seseorang. Suaranya lembut dan mengalun merdu.

            “Waalaikum salam. Eh neng, kenapa udah datang ke bengkel? Padahal kan belum waktunya makan siang?” Uwa Udin yang memang sedang meminum kopinya langsung saja menyambut kedatangan anak gadisnya. Ya gadis yang mengucapkan salam dengan suara yang lembut tadi dan disapa ‘neng’ oleh Uwa Udin adalah Kinanti Mandalawangi. Gadis cantik berparas ayu ini adalah putri semata wayang Uwa Udin. Matanya yang indah, rambutnya yang hitam diikat kepang kebelakang, dengan kebaya dan rok sederhana, entah kenapa terlihat memesona. Seketika rantai motor dan oli tidak menjadi fokusku sekarang, aku justru dengan asiknya mengamati bagaimana ia menjawab pertanyaan bapaknya itu.

            “Nanti habis dzuhur neng harus udah ke toko, banyak pesanan baju pak di toko, jadi neng mampir ke sini dulu sebelum ke toko.”, jawab Kinanti sembari duduk dan menyimpan rantang yang berisi makan siang di meja. Sudah sebulan belakangan Kinanti rutin setiap hari mengantar makan siang untuk Uwa Udin dan aku. Sebelumnya istri Uwa Udin yang bertugas mengantar makan siang, namun karena serangan jantung, akhirnya kurang lebih tiga bulan yang lalu, Uwa Ela, istrinya Uwa Udin  harus berpulang ke pangkuan ilahi, meninggalkan Uwa Udin dan anak gadis mereka Kinanti.

            “Ya sudah, terima kasih ya neng. Sudah mau repot-repot nganterin bapak makanan. Gaharau! Kemari kasep! Ini ada Kinanti.” Aku yang masih memperhatikan interaksi mereka, seketika terkesiap kaget mendengar teriakan Uwa Udin, langsung saja terdengar bunyi bising dari obeng yang aku pegang, obeng itu terlempar mengenai badan motor di hadapanku. Aku yang malu, langsung berdiri menghampiri bapak dan anak itu.

            “Maaf, Wa tadi saya lagi membetulkan rantai motor, kaget mendengar teriakan uwa” jawabku sambil menggaruk belakang kepalaku. Lalu tatapanku beralih pada gadis manis yang sedang duduk yang kebetulannya ternyata sedang memperhatikanku juga. Aku hanya bisa tersenyum canggung membalas tatapan aneh yang dia berikan padaku.

***

            “Bagaimana Haru, enak masakannya?” Selepas kejadian memalukan itu, siangnya setelah shalat dzuhur, aku dan Uwa Udin langsung menyantap masakan yang dibawa Kinanti.

            “Enak banget wa, mantap” Aku tidak berbohong, masakan Kinanti memang selalu enak. Meskipun hanya masakan sederhana tetapi cita rasanya tidak diragukan lagi. Hampir setiap hari aku memakan masakan Kinanti, namun aku tidak pernah bosan.

“Bagaimana dengan emakmu, Haru, sehat-sehatkan?” Uwa Udin ini sebetulnya tetanggaku di rumah, jarak rumah kami hanya dipisahkan oleh lima rumah. Namun aku baru mengenal dekat beliau sejak di kebun teh waktu itu. Semenjak dekat dengan beliau, aku merasa memiliki sosok ayah. Beliau selalu ada ketika aku sedang sedih, sedang susah, beliau bahkan rela menjadi tempatku pulang ketika aku sedang diliputi masalah. Bukannya aku tidak menjadikan emak sebagai tempatku pulang untuk berkeluh kesah, tetapi aku tidak tega, emak sudah menanggung beban hidup yang berat, jika ditambah dengan mendengar keluhanku apa tidak semakin memberatkan emak.

“Sehat-sehat kok, Wa. Masih sibuk kerja pula di kebun.”, jawabku sembari mengambil ikan asin dari rantang.

“Masih betah Teh Eros kerja di kebun si Baba?”

“Ya bagaimana lagi atuh wa, emak susah untuk disuruh diam di rumah. Emak orangnya gak bisa diam, inginnya kerja.”

“Iya, biarkan aja lah, Ru. Asal kamu kontrol saja emak kamu supaya tidak terlalu capek”

“Iya, siap wa. Haru pasti selalu siap menjaga emak.”

“Assalamualaikum”

Ditengah nikmatnya menyantap masakan Kinanti, dari arah luar datang seseorang sambil mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam, eh, Mang Diman. Apa kabar Mang? Sehat?”, langsung saja aku salami paman jauhku itu. Jarang-jarang sekali beliau berkunjung ke bengkel.

“Mangga, duduk Diman, makan juga sekalian, lauknya masih banyak juga.” ucap Uwa Udin sembari menggeser duduknya mendekati tembok.

“Sudah terimakasih, saya baru saja makan sebelum kemari. Oya, Haru bagaimana kabarmu dan emak sehat kan?”

“Sehat-sehat mang, emak juga masih kerja di kebun Baba Athong.” Mang Diman ini sepupu jauh bapak kata ibu, beliau rutin mengunjungi kami ke rumah setiap bulan. Namun sudah beberapa bulan ini Mang Diman memang tidak mengunjungi kami lagi.

“Begini, mumpung sekalian ada A Udin, mamang teh kesini mau mengajak kamu, Haru untuk jadi anggota laskar pemuda yang mamang dirikan. Laskar ini sengaja mamang bentuk untuk merekrut pemuda-pemuda seperti kamu yang masih kuat, cerdas, dan mau berjuang untuk membela tanah air. Bangsa kita masih dijajah sampai sekarang, entah kapan kita akan terlepas dari belenggu penjajahan ini. Mamang berharap dengan didirikannya laskar pemuda ini dapat menjadi angin segar untuk semangat perjuangan bangsa. Bagaimana menurut kamu Haru, apakah kamu bersedia?”

“Sudah sejak kapan kamu Diman mendirikan laskar pemuda itu?” tanya Uwa Udin yang nampaknya mulai tertarik dengan apa yang dibicarakan oleh Mang Diman.

“Baru tiga bulan belakangan ini A, sebetulnya saya sudah mulai mengumpulkan pemuda-pemuda semacam Gaharu ini sejak lama, lalu saya ikut kan latihan militer di markas Bojonganyar sejak tiga bulan yang lalu. Lalu saya teringat bahwa saya ini memiliki keponakan yang saya rasa cukup berkompeten untuk ikut serta dalam perlawanan.” Ya memang, Mang Diman ini merupakan salah satu prajurit militer Seinendan. Usianya yang sudah tidak masuk kriteria membuatnya tidak bisa lagi tergabung dalam pasukan militer itu. Mungkin pikirnya daripada sia-sia ilmu yang dia dapat, dia berikan saja pada anak-anak muda seperti aku.

“Aku sebetulnya sangat tertarik untuk tergabung dalam laskar perjuangan semacam itu mang, sudah sejak lama malah. Namun emak sepertinya tidak akan mengizinkan aku untuk ikut.” aku yakin betul, emak pasti akan menentang dengan keras keinginanku untuk tergabung ke dalam laskar perjuangan. Ketakutan yang dimiliki emak sudah mengakar kuat, akan sulit untuk menentangnya.

“Coba bicara baik-baik terlebih dahulu Gaharu, sampaikan niatmu yang ingin bergabung sebagai prajurit perlawanan pembela tanah air.” Aku hanya mampu menatap Uwa Udin dengan sendu, seakan mengerti maksud tatapanku, Uwa Udin mengangguk, mencoba meyakinkanku, jika aku bisa meyakinkan emak untuk mengizinkanku bergabung ke dalam laskar perjuangan bentukan Mang Diman.

“Baiklah akan aku coba, Mang”

***

Malam harinya aku coba untuk berbicara dengan emak mengenai ajakan Mang Diman tadi siang. Emak yang sedang merajut baju di atas dipan nampak sekali khusuk.

“Ehmhm,, emak..” ujarku mencoba mendekati emak dengan duduk di atas kursi disebrang emak.

“Ya” jawabnya yang tetap fokus pada kegiatan merajutnya.

“ Kalu Haru ikut dalam laskar perlawanan seperti yang pernah diikuti bapak waktu itu apa boleh, mak?”

Mendengar pertanyaanku emak segera mengalihkan tatapannya padaku dan segera menyimpan alat rajutnya di samping. “Untuk apa kamu ikuti laskar-laskar semacam itu Gaharu? Emak sudah pernah bilang, jangan ikuti bapakmu. Kamu mau mati karena dibunuh orang putih itu?” jawab emak mulai berapi-api. Sudah kuduga akan seperti ini reaksi emak. Hal-hal yang menyangkut laskar dan perlawanan merupakan hal yang sangat sensitif bagi emak untuk itu sebisaku aku tidak pernah membahas hal-hal yang menyangkut perlawanan di depan emak.

“Mak, mati itu kuasa Allah, bapak terbunuh pun karena takdir Allah, dan lagian bapak mati di jalan kebenaran, membela kebenaran mak. Aku pun ingin seperti bapak, membela rakyat yang tertindas, melawan kezhaliman. Aku tidak bisa berdiam diri saja melihat orang-orang di sekitarku tertindas dan teraniaya”

“Kamu anak emak satu-satunya Gaharu, warisan bapakmu ya cuma kamu, hanya kamu harta yang dititipkan bapak ke emak.” Emak mulai menangis hingga suaranya terdengar lirih sekali, aku tidak tega. Tapi kali ini tekadku bulat. Aku ingin ikut membela tanah airku, aku ingin berjuang demi bangsa. Aku ingin seperti bapak yang mati karena melawan kezhaliman. Aku ingin seperti sahabatku Hamdan, yang sudah lebih dulu masuk pelatihan untuk dididik menjadi prajurit pembela kebenaran.

“Maaf mak, keinginan Haru kali ini sudah bulat, Haru tetap akan ikut ke dalam laskar perjuangan demi meneruskan perjuangan bapak, mak”

Setelah mengatakan itu, aku segera bergegas keluar rumah meninggalkan emak yang sekarang berteriak memanggil-manggil namaku. Maafkan Haru ,mak.

***

Hari sudah mulai gelap, satu persatu warga mulai memasuki rumahnya. Tetapi tidak denganku, aku masih harus berkutat dengan mesin motor dan obeng ditemani dengan suara- suara hewan yang mulai saling bersaut-sautan. Juga dengan secangkir kopi hitam yang mulai dingin, aku berusaha memperbaiki mesin motor ini, karena esok sang pemilik akan mengambilnya. Sudah tiga malam aku tidur di bengkel. Selepas pergi dari rumah malam itu, aku memutuskan untuk tidur di bengkel sementara waktu. Dua hari ini pula aku diselimuti rasa bersalah. Dengan tega aku meninggalkan emak seorang diri di rumah, terlebih lagi aku meninggalkannya dalam keadaan menangis. Aku terkejut ketika seseorang dengan sengaja menepuk bahuku. Ternyata Uwa Udin yang datang bersama dengan Kinanti. Ah sudah lama aku tidak melihat Kinanti. Malu aku bertemu Kinanti dalam keadaan kacau seperti saat ini.

“Uwa tahu kamu sedang merasa bersalah, maka pulanglah Haru, kasian emakmu di rumah. Pasti dia juga sedang memikirkan kamu”

“Iya, A Haru teh sebaiknya pulang, bicarakan baik-baik dengan Bi Eros”

“Emak kamu hanya trauma Gaharu, ada ketakutan besar yang membelenggu di dalam dirinya. Dia tidak mau kamu bernasib sama seperti ayahmu. Maka tugas kamu adalah meyakinkannya. Membuat dia yakin bahwa kamu dapat membela tanah air, dapat berjuang membela rakyat. Yakinkan emak kamu Haru, tidak dengan cara kabur seperti ini.”

Setelah mendengar nasehat Uwa Udin, aku seperti tersadarkan. Aku segera berlari keluar bengkel tanpa pamit. Tujuanku hanya satu segera meminta ampun kepada emak. Emak yang saat itu tengah menumbuk beras di halaman rumah terkejut melihatku pulang.

“Ampun mak, Haru minta ampun, Haru janji tidak akan ikut laskar pejuang itu, Haru akan nurut dengan perintah emak.” Aku terus bersujud di kaki emak sembari menangis, berharap emak mau memaafkan kesalahanku.

“Sudah Haru, emak sudah memaafkan kamu”, ujar emak sembari mecoba membantuku berdiri.

“Emak tidak marah dan tidak mungkin bisa marah kepadamu Haru, kamu anak emak satu-satunya, kamu senang emak ikut senang, kamu sedih emak juga ikut sedih”, ujarnya terus sambil tersenyum menenangkan  

“Emak izinkan kamu untuk ikut ke dalam laskar perjuangan itu, tetapi kamu harus janji untuk selalu selamat bagaimanapun keadaannya.”

Aku terkejut mendengar perkataan emak, bagaimana tidak, emak yang awalnya berkeras hati, menentang sekali keinginanku, tiba-tiba saja berubah pikiran.

“Emak serius? Tidak bohongkan?” Emak menjawab hanya dengan senyuman dibarengi dengan gelengan. Seketika senyum terbit di bibirku, aku lantas memeluk emak sembari menggumamkan kata terima kasih. Dan akhirnya, karena restu dan doa emak, aku resmi tergabung dalam Barisan Pejuang Rakyat Indonesia. Untuk dididik, dilatih menjadi seorang pejuang pembela negara yang siap kapan saja melawan Belanda, Jepang dan sekutu-sekutu lainnya

***

Dayeuhkolot, 1946

            Setelah berjuang menghadapi kekejaman Belanda dan Jepang, akhirnya kami, Bangsa Indonesia sudah merdeka terbebas dari segala macam belenggu penjajahan. Kami berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menyatakan dengan lantang bahwa Indonesia kini negara yang bebas dan bukan sebagai tanah jajahan negara manapun. Namun sayang, ancaman dalam mempertahankan kemerdekaan mulai datang. NICA dan sekutu-sekutunya datang kembali ke Indonesia. Mereka ingin kembali menguasai Indonesia dan menjadikan tanah nusantara ini sebagai tanah jajahan mereka. Mereka tidak ingin mengakui bahwa kami, Negara Indonesia sudah merdeka.

            Setelah mendapat restu dari emak waktu itu, aku mulai tinggal di asrama markas Barisan Pejuang Rakyat Indonesia bersama teman-teman seperjuanganku yang lain. Beruntug aku bisa ada dalam satu pasukan yang sama dengan sahabatku Hamdan. Mengenai emak, aku sudah menitipkan emak kepada Kinanti, agar jika Kinanti dalam waktu luang, dapat berkenan menengok emak di rumah. Hubunganku dan Kinanti pun boleh dkatakan semakin dekat, setelah menasehatiku malam itu di bengkel, kami jadi lebih sering berinteraksi, sampai ketika aku pelatihanpun kami sering bertukar surat sampai saat ini.

            Kedatangan sekutu kembali  ke Indonesia tentu membawa ancaman bagi kemerdekaan bangsa kami. Dengan semena-mena mereka ingin mengambil alih wilayah bandung selatan untuk dijadikan pusat persenjataan. Kami para warga tentu tidak terima. Bumi kami, tanah air kami, rumah kami dijadikan pusat senjata sekutu. Aku dan para pimpinan laskar sedang membahas masalah ini, kami sedang mengatur strategi bagaimana cara agar para sekutu dapat bertekuk lutut dan pergi dari wilayah kami. 

            Di tengah proses diskusi, tiba-tiba Hamdan datang menginterupsi diskusi, dia izin ingin berbicara denganku karena ada hal yang sangat penting dan mendesak yang harus ia sampaikan kepadaku.

            “Ada apa Dan, sepertinya genting sekali?” tanyaku setelah kami sampai di halaman markas.

            “Genting sekali Ru, ini mengenai emak kamu Gaharu,” mendengar kata emak membuatku panik seketika.

            “Ada apa dengan emak, Dan? Emak kenapa? Ceritakan padaku sekarang!” teriakku menggebu karena panik.

            “Begini, Ru tentu kamu sudah mendengar kabar sekutu yang mengultimatum warga di wilayah bandung selatan untuk segera meninggalkan rumah mereka masing-masing?” aku hanya mengangguk pertanda bahwa aku tahu berita itu. Tadi kami pun sedang mengatur strategi bagaimana melakukan perlawanan atas ultimatum yang dibuat sekutu tersebut. Tapi apa hubungannya dengan keadaan emak?

            “Nah, warga menolak keras ultimatum itu, dan sebagai bentuk perlawanan, warga sengaja membakar rumah mereka dengan tujuan para sekutu itu merasa digertak. Dan kemungkinan besar rumah emak kamu pun ikut terbakar Ru, karena menurut pasukan yang ada di lapangan, rumah warga betul-bentul hangus terbakar tidak ada yang tersisa. Diperkirakan mereka melakukan aksi pembakaran itu tadi malam.”

            “Bagaimana dengan kabar emakku, Dan? Di mana dia sekarang?”

            “Menurut pasukan di lapangan, semua warga sudah diungsikan ke daerah bandung utara. Kamu tenang ya Ru, sehabis ini kita coba lihat keadaan emakmu bagaimana”

            Benar saja ketika aku diajak Hamdan melihat lokasi kebakaran, semua rumah telah hangus terbakar. Yang ada sekarang hanya sisa-sisa abu dan asap yang masih mengepul. Pasti kejadian malam tadi benar-benar dahsyat. Aku langsung mengajak Hamdan menuju lokasi pengungsian warga yang kira-kira membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di sana. Sesampainya di sana, banyak tenda-tenda yang didirikan warga, aku berusaha keras mencari keberadaan emak. Sampai aku melihat keberdaan emak yang sedang duduk di luar tenda ditemani Kinanti

            “Emak!” langsung kupeluk tubuh emak, kuraskan emak terkejut. Aku bersyukur emak dalam keadaan sehat tidak kurang apapun.

            “Emak sehatkan? Tidak ada yang luka?” aku bertanya sembari memeriksa keadaan tubuh emak barangkali ada yang luka.

            “Emak sehat dan baik-baik saja Haru.” Lihatlah bagaimana bisa emak masih bisa tersenyum menenangkan seperti itu. Meskipun aku tahu dari tatapannya emak sangat ketakutan.

            “Alhamdulillah emak selamat, untung ada Kinanti yang menjemput emak untuk segera mengungsi, kalau tidak, emak tidak tahu apa yang akan terajdi”, jawab emak sembari tersenyum ke arah Kinanti.

            “Terima kasih neng, bagaimana dengan neng, baik-baik saja kan tidak ada yang terluka?” saking fokusnya terhadap emak, membuatku lupa akan keberadaan Kinanti.

            “Tidak apa-apa A. Alhamdulillah kami semua selamat.”

            “Syukurlah kalau begitu.” Aku menatap mereka dengan tatapan penuh haru. Mungkin ini akan menjadi kali terakhir bagiku untuk bisa melihat senyum emak dan Kinanti lagi.

            “Gaharu, ayo! waktu kita sudah habis di sini. Kita harus segera kembali ke markas.” Hamdan datang tiba-tiba menginterupsi kegiatan kami. Padahal aku baru saja mengobrol sedikit dengan emak, namun tugas sudah memanggilku.

            “Emak,,,” kucoba tatap wajah tua emak dengan dalam. “Haru masih harus bertugas lagi di markas untuk mencari solusi bagaimana melawan sekutu itu. Emak jaga diri baik-baik di sini. Jangan sampai tidak makan. Emak harus sehat.” tak kuasa aku menatap wajah sedih emak. Memang setelah aku tinggal di asrama, aku menjadi jarang bertemu emak. Paling sering sebulan sekali, boleh untuk seminggu sekali, itupun jarang sekali. Maka selama aku di asrama aku titipkan emak pada Kinanti.

            Kupeluk sekali lagi emak dengan erat, sembari meminta maaf dalam hati. Kucium kening emak dengan lembut dan penuh perasaan berharap emak bisa ikhlas dan ridho dengan keputusanku. Lalu tatapanku beralih pada Kinanti. Dia adalah wanita pertama yang berhasil menarik perhatianku. Kelembutannya dalam berbicara dan bersikap membuatku tertarik padanya. Gadis manis yang sangat pandai memasak.

            Neng, Aa hanya ingin bilang terimakasih, neng sudah mau menjaga dan melindungi emak, sudah menganggap emak seperti emak neng sendiri. Aa beruntung sekali bisa menyukai wanita seperti neng, wanita yang baik, lembut dan penyayang. Aa hanya ingin memberikan surat ini untuk neng. Neng baru boleh membaca surat ini saat besok hari.” Ucapku panjang, sengaja aku tidak memberinya jeda untuk membalas ucapanku karena aku takut tidak sanggup mengucapkannya

            “Aa titip emak sama neng ya.”

            “A Gaharu seperti pada siapa saja, Neng siap menjaga emak kapanpun dan di manapun.” Jawabnya dengan senyum lebar penuh keyakinan. Entah kapan lagi aku akan melihat senyum idahnya itu. Kenapa sekarang menajdi terasa berat? Gusti Nu Agung!

            Sekali lagi Hamdan memberi isyarat agar aku segera pergi. Kutatap sekali lagi wajah Kinanti. Lalu aku beralih menatap emak dan memeluknya erat. Menyalami tangannya. Memeluknya sekali lagi dan bergegas pergi karena waktuku memang sudah habis di sini. Maafkan Haru, mak. Setelah menengok sekali lagi, menatap betul-betul dua sosok yang sangat berarti dalam hidupku, aku segera naik mobil dan pergi meninggalkan pengungsian. Selamat tinggal emak. Selamat tinggal Kinanti.

***

            Malam harinya, aku bersama rekan-rekan yang lain bersiap melakukan operasi. Rapat pagi tadi dengan berbagai pimpinan, menghasilkan keputusan bahwa kami akan melakukan operasi peledakan gudang mesiu sekutu. Melihat perlawanan yang dilakukan warga, membuat sekutu semakin merasa kepanasan, akibat dari peristiwa semalam bisa saja mengakibatkan peristiwa pertumpahan darah yang lebih besar. Maka diputuskan agar kami segera bertindak cepat dengan melakukan pembakaran terhadap gudang persenjataan milik sekutu. Dan yang bertugas melakukan peledakan adalah aku, selaku pimpinan kompi satu. Hal inilah yang sengaja tidak aku katakan pada emak dan Kinanti. Aku takut membuat mereka, terutama emak khawatir. Karena ini operasi besar. Aku tidak sanggunp meminta izin dan restu kepada emak. Karena tugas kali ini sangat beresiko, aku tidak bisa menjanjikan apapun kepada emak. Akhirnya kau memilih agar aku merahasiakan rencana ini dari emak.

 Kami mulai berpencar, bersiap melakukan tugas kami masing-masing. Gudang mesiu itu berada di daerah yang terbuka, sangat besar, dan tampak angker. Sulit untuk mencapainya karena gudang itu dijaga ketat. Siapapun yang berani mendekat pasti akan terlihat dengan mudah oleh penjaganya. Tetapi kami sudah mengatur strategi sedemikian rupa agar aksi ini dapat berhasil. Pasukan yang lain mulai memasuki kawasan gudang, Hamdan yang memimpin. Sementara aku berada di pinggir pasukan untuk bersiap menyusup.

Melalui gorong-gorong aku menyusup mendekati gudang. Rekan-rekanku yang lain sudah ada yang tertembak. Sahabatku, Hamdan dengan sigap mengalihkan perhatian tentara penjaga, dia sengaja menembak di tempat lain agar perhatian penjaga teralihkan dariku. Dengan sisa-sisa tenaga aku mencoba melewati gorong-gorong kecil dan bau itu untuk sampai di pintu belakang gudang. Sebelum masuk ku perhatiakn keadaan sekitar, sepertinya aman, lalu aku masuk ke dalam gudang dan mengunci diri di dalamnya, bersama ratusan bom, granat, dan senjata milik sekutu yang siap kapan saja digunakan untuk membunuh saudara-saudara setanah airku.

Melihat banyaknya bom dan senjata, ragu sempat mampir dalam diriku. Apakah aku siap meledak bersama bom, granat, dan senjata itu? Apakah aku mampu menghadapi sakitnya bertemu maut  sekaligus menghadapi sakitnya tubuh yang akan hancur? Seketika aku ingat sahabatku, dia sudah lebih dulu tertembak, demi membuka jalan bagiku agar bisa masuk kedalam gudang ini. Aku tak boleh mengecewakannya. Kami sudah sepakat agar bagaimanapun caranya gudang ini harus hangus terbakar. Dengan tangan gemetar dan mata yang berkaca-kaca, aku bersiap untuk meledakkan dinamit yang telah aku siapkan sebelumnya. Dengan kalimat  Laailahaillallahu aku lempar dinamit itu, dan seketika terdengar ledakan yang memekakan telinga. Bersamaan dengan itu, aku merasakan tubuhku terlempar dan rasanya aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi, rasanya tubuhku ini sudah hancur tak berbentuk terbakar bersama ratusan bom dan senjata.

 

Kinanti, mungkin ketika neng membaca surat ini, aa sudah berhasil melaksanakan tugas terakhi aa. Itu tandanya aa tidak mungkin lagi bisa bertemu dengan Kinanti. Aa pesen tolong jaga emak neng, emak harta berharga aa satu-satunya, tolong sampaikan maaf aa kepada emak, bahwa aa tidak bisa menepati janji aa untuk selalu selamat bagaimana pun keadaannya. Aa minta maaf tidak bisa menyampaikan secara langsung. Yang perlu neng tahu aa sangat sayang dengan neng dan juga emak.

 

Gaharu Durahman

 

           

 

Komentar

  1. Ceritanya sangat menarik! Saya terkesan bagaimana penulis sukses membawa kita ke zaman tempo dulu dengan gaya bahasanya. Alur asmaranya pun sangat terlihat seperti orang orang zaman dahulu. Sukses terus!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusun Artikel

Menulis Teks Editorial