Menulis Teks Editorial
Diskriminasi Saat Tangani Pandemi
Hingga saat
ini, menjelang setahun keberadaannya, virus corona masih setia menghantui
kehidupan kita. Tidak tahu kapan pastinya akan berakhir, membuat kita berada
pada situasi yang serba tidak menentu. Pemerintah beserta satgascovid-19 dan
para relawan tak henti menyuarakan pesan ibu kepada masyarakat agar senantiasa
menjaga jarak, memakai masker dan rajin mencuci tangan. Namun sayang, agaknya
perjuangan para relawan di lapangan selama 10 bulan ini harus mengalami
kesia-siaan. Banyak kerumunan dengan massa yang berjumlah banyak justru terjadi
baru-baru ini. Situasi pandemi yang mengharuskan jaga jarak justru tidak dilakukan,
orang-orang berkumpul menganggap situasi sudah aman. Yang terbaru adalah
kerumunan ketika penyambutan kepulangan Habib Rizieq serta kerumunan pada acara
maulid nabi dan resepsi pernikahan putri Habib Rizieq sampai kerumunan pada
saat kampanye untuk pilkada.
Menindak secara
tegas setiap pelanggar protokol kesehatan merupakan bentuk komitmen pemerintah
dan satgascovid-19 dalam menangani wabah ini. Seperti saat kerumunan yang
terjadi di sebuah restoran cepat saji di daerah Sarinah, Jakarta Pusat. Aparat
langsung dengan tegas membubarkan acara bahkan sampai menutup restoran secara
permanen. Atau kerumunan yang terjadi di warung-warung angkringan di Yogyakarta
yang juga langsung dibubarkan oleh aparat karena memicu kerumunan. Tapi hal
tersebut tidak dilakukan di beberapa kerumunan yang terjadi baru-baru ini. Pada
saat kampanye pilkada di berbagai daerah di Indonesia, terlihat secara jelas
banyak massa berkerumun dalam satu tempat yang dapat dipastikan tidak akan bisa
menjaga jarak. Atau pada saat acara maulid nabi yang berbarengan dengan resepsi
pernikahan yang dihadiri para ulama dan habaib, jamaah yang datang bahkan
hampir ribuan orang. Pada akhirnya, komitmen aparat dan pemerintah khususnya
pemerintah daerah dipertanyakan. Mengapa tindakan tegas dengan cara langsung
membubarkan tidak dilakukan juga pada kerumunan-kerumunan itu? Padahal massa
yang hadir jumlahnya dalam jumlah yang sangat banyak dan kemungkinan untuk
mematuhi protokol kesehatan sangatlah kecil.
Alih-alih
membubarkan, satgascovid-19 justru membagikan 20.000 masker kepada para jamaah
yang hadir pada acara maulid nabi sekaligus resepsi pernikahan putri Habib
Rizieq. Ini bukan hanya sekedar bentuk inkonsistensi satgascovid-19 dalam
menangani pandemi. Tapi juga melukai perasaan banyak relawan yang setiap
harinya bekerja mengedukasi masyarakat untuk menjaga jarak dan memakai masker.
Hal itu terbukti dengan para relawan yang secara sengaja membuang jas
satgascovid-19 sebagai bentuk kekecewaan akibat kebijakan yang diambil satgascovid-19.
Karena dengan memberikan bantuan masker dalam acara yang memuat banyak massa,
yang besar potensinya untuk terjadi pelanggaran potokol kesehatan, seperti mengizinkan
dan mendukung kerumunan kembali terjadi meskipun dalam jumlah massa yang
banyak.
Tak pelak masyarakat
pun merespon negatif tindakan yang dilakukan satgascovid-19 ini. Dan mulai
mempertanyakan, sebetulnya bagaimana kinerja satgascovid-19 ini? Tidak salah
juga jika masyarakat mulai berpikir untuk berkumpul-kumpul kembali karena
menganggap situasi sudah aman, toh tidak akan dibubarkan justru akan dibagikan
masker. Padahal dalam memutus rantai penyebaran virus memakai masker saja tidak
cukup, menjaga jarak dan menghindari kerumunan pun penting untuk dilakukan.
Tindakan
yang dipilih satgascovid-19 untuk membagikan 20.000 masker kepada massa yang
terlibat kerumunan sangat disayangkan. Alangkah lebih baiknya, 20.000 masker
itu dapat disebar dan dibagikan kepada para korban bencana alam atau
orang-orang yang terpaksa bekerja di luar rumah. Misalnya para korban banjir di
sejumlah wilayah di Indonesia atau kepada para pengungsi erupsi Gunung Merapi
yang saat ini terpaksa mengungsi demi menyelamatkan diri. Hal ini akan jauh
lebih bermanfaat, setidaknya bisa sedikit mengurangi beban para pengungsi di
tengah situasi yang serba sulit. Karena para pengungsi tidak hanya sedang
bertahan di tengah bencana alam tetapi juga sedang bertahan melawan virus.
Kejadian
yang terjadi ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah terkhusus
satgascovid-19. Bahwa dengan konsisten terhadap aturan yang sudah ditetapkan
adalah kunci tegaknya kedisiplinan. Jangan sampai menghancurkan kerja keras
hampir sepuluh bulan ini sehingga menjadi sia-sia. Tentunya dalam menangani
pandemi harus menjadi tanggung jawab bersama, tidak bisa jika hanya dilakukan
oleh suatu instansi. Oleh karena itu, pemerintah, satgascovid-19, dan
masyarakat mesti bahu membahu menegakkan protokol kesehatan. Kerumunan boleh
saja dilakukan asal dibatasi dan mematuhi protokol kesehatan, karena kerumunan
yang tidak mengindahkan protokol kesehatan dapat memicu klaster baru covid-19. Karena
sejatinya keselamatan jiwa manusia harus ditempatkan pada posisi yang tertinggi.
Komentar
Posting Komentar