Merancang Novel

 

Pembelajaran 2 :  Merancang Novel

Perjuangan untuk Tetap Bertahan 

2. Tuliskan satu peristiwa sosial yang menarik perhatian, rumuskan masalah-masalah yang ingin diungkapkan pada rancangan novel

Peristiwa Sosial

Masalah

Tema

Banyak masyarakat yang harus kehilangan pendapatan akibat adanya pandemi covid-19

1. Banyak pedagang kecil yang terpaksa menutup usaha mereka karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat yang dilakukan pemerintah

Perjuangan sebuah keluarga penjual kaki lima untuk mempertahankan usaha yang dimilikinya dari ancaamn tidak bisa berjualan lagi di tengah situasi covid-19

2. Para pedagang pun tak jarang sering adu mulut dengan petugas satpol PP demi mempertahankan barang dagangan mereka agar tidak ditutup

3. Seringnya terjadi perubahan aturan dari pemerintah, membuat para pedagang bingung, selain itu juga mereka mengalami kerugian penurunan omset.

4. Dengan adanya covid-19 ini banyak masyarkat yang kesulitan untuk menghidupi keluarganya, akibat adanya pembatasan sosial

 

3. Rumuskan tema, amanat, dan rancangan peristiwa/alur singkat yang sudah diamati

Tema

Amanat

Rancangan Peristiwa/Alur Singkat

Perjuangan sebuah keluarga penjual kaki lima untuk mempertahankan usaha yang dimilikinya dari ancaman tidak bisa berjualan lagi di tengah situasi covid-19

1. Kita harus berusaha semaksimal mungkin dalam berikhtiar dan berusaha serta yakin dengan apa yang akan kita kerjakan, karena Tuhan akan membantu kita hambanya yang senantiasa selalu berusaha

Pandemi covid-19 selain membawa pengaruh terhadap kesehatan nasional, juga berdampak pada ekonomi masyarakat. Salah satunya terhadap ekonomi sebuah keluarga pedagang kaki lima, di salah satu kota kecil. Kios kaki lima biasa yang hanya ditutup terpal yang sangat sederhana. Tetapi pandemi mengubah segalanya, warung mereka yang biasanya ramai pembeli mendadak sepi. Omset mereka mengalami penurunan. Bukan itu saja, tak jarang mereka selalu ditegur petugas karena dicuragai akan menimbulkan kerumunan. Padahal dari usaha berdagang pecel lele inilah mereka bisa menyambung hidup. Demi mensiasatinya mereka melakukan berbagai upaya agar dapat terus mempertahankan usaha nya agar bisa terus berjualan demi bisa menyambung hidup.

 

4. Tuliskanlah rancangan alur novelet

Jenis Alur

Tahapan Alur

Uraian Peristiwa

Maju

a. Orientasi

Tak terasa bulan Ramadhan telah tiba lagi, bersyukur rasanya dapat kembali bertemu dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah. Meski dengan situasi yang serba berbeda tidak menyurutkan semangatku dan keluargaku untuk beribadah di bulan Ramadhan ini. Pagi ini rumah kami masih ramai karena bapak ibu, aku, dan adikku sedang kumpul di rumah. Bukan sedang menjalani libur atau cuti tetapi kami semua dipaksa untuk libur. Aku dan adikku dipaksa libur oleh sekolah begitu pula kedua orangtuaku yang dipaksa libur oleh pabrik tempat mereka bekerja. Pandemi yang menjangkit Indonesia, setiap harinya semakin parah, angka korban yang terpapar virus pun semakin meningkat. Hal ini membuat pemerintah membuat peraturan pembatasan sosial, sehingga mau tidak mau kami harus terima ketika diharuskan untuk mengurangi rutinitas kami mulai hari ini. Selain bekerja sebagai buruh pabrik, bapak dan ibu juga berjualan ayam bakar di depan gang rumah kami. Alhamdulillah dari hasil berjualan ayam bakar bisa menambah penghasilan keluarga untuk kebutuhan sehari-hari. Bapak dan ibu berjualan ayam bakar di sebuah gerobak sederhana yang dilengkapi satu meja dan dua kursi panjang, barangkali ada pembeli yang ingin makan di tempat. Meski sangat sederhana tetapi ayam bakar bapak ini sangat bersih dan dijamin halal. Biasanya bapak akan berjualan dari pukul lima sore hingga pukul sembilan malam, karena besok pagi bapak juga harus bekerja pagi di pabrik. Biasanya yang menemani bapak berjualan kalau tidak aku ya ibu. Kalau ibu capek, maka aku yang harus menggantikan untuk menemani bapak berjualan. Tetapi sudah hampir dua minggu lebih bapak tidak berjualan ayam bakar, dikarenakan pandemi. Untuk sehari-hari kami hanya memanfaatkan uang sisa jualan, karena bapak sendiri belum menerima gaji dari pabrik.

b. Komplikasi

Hari ini seperti biasa aku membantu bapak untuk berjualan ayam bakar di depan gang rumah kami. Meski rumahku bukan di pusat kota, tetapi kota jalan raya di depan gang rumah ku ini merupakan satu-satunya jalan menuju pusat industri, tempat para karyawan bekerja. Sehingga lokasinya tergolong strategis, karena biasanya para karyawan akan mampir untuk membeli ayam bakar bapak sepulang kerja. Tetapi hari ini berbeda, karena ini kali pertama lagi kami keluar rumah untuk berjualan, setelah sebelumnya dihimbau untuk berdiam di rumah saja. Situasi jalan cukup sepi, tidak ada kemacetan, mungkin karena hampir semua karyawan pabrik di beberapa perusahaan diliburkan. Padahal ini Bulan Ramadhan, biasanya di waktu menjlang berbuka ini akan ramai yang membeli ayam bakar bapak untuk santap berbuka puasa, tetapi sekarang sepi hanya satu dua orang. Setelah selama dua minggu lebih mencoba untuk mematuhi aturan pemerintah, rasa-rasanya bapak tidak sanggup jika harus berdiam diri tidak berjualan. Akhirnya bapak bulat bertekad akan tetap berjualan. Karena kata bapak, jika bapak tidak berjualan, bapak tidak ada penghasilan. Meskipun masih ada pemasukan dari pabrik tempat bapak kerja, tetap saja rasa-rasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pabrik tempat bapak bekerja pun memang sedang sedikit bermasalah sebelum corona ini datang, gaji yang harusnya bapak terima secara full, mengalami pengurang karena pabrik sedang sepi orderan katanya. Jadi daripada berdiam diri di rumah sementara penghasilan tidak ada, bapak memutuskan untuk tetap keluar berjualan ayam bakar.

c. Evaluasi

Tetapi perjuangan bapak untuk tetap berjualan tidaklah mudah, bapak mesti bertaruh nyawa karena setiap malam berada diluar rumah yang bisa kapan saja terserang virus. Bapak juga meminta agar aku dan ibu tak perlu membantunya berjualan selama masa pandemi ini. Toh, pembeli yang datang juga sedikit, kata bapak tempo hari. Entah kapan ini akan berakhir bahkan ini baru masuk tepat sebulan saat virus ini datang ke negara kami. Tapi kami sudah merasa sangat terhimpit. Melihat bapak yang setiap malam sejak minggu lalu pulang ke rumah mendorong gerobak yang masih banyak isinya. Membuatku tidak tega. Aku yang masih berada di tingkat akhir SMA ini, tidak bisa berbuat banyak. Gaji yang bapak terima dari pabrik pun semakin mengecil angkanya, seiring dengan perpanjangan libur yang dikeluarkan pimpinan pabrik.akhirnya dengan uang seadanya kami mencoba untuk tetap bertahan , mencoba untuk terus berjualan. Meski hanya hitungan jari yang membeli ayam bakar bapak, tetapi bapak tetap senang. Dan terus bertekad tetap berjualan bagaimana pun kondisinya.

 

Dan situasi ini terus berlanjut hingga enam bulan selepas pandemi mulai menyerang. Tidak ada yang berubah aku dan adikku tetap sekolah dari rumah. Sementara bapak dan ibu mulai kembali bekerja di pabrik dengan sistem seminggu tiga hari kerja. Gaji bapak dan ibu belum ada kenaikan, sekarang justru mereka dibayar dengan sistem harian. Jelas ini semakin mempersulit perekonomian keluarga kami. Bapak juga masih tetap menjual ayam bakar meski hanya seminggu tiga kali. Adanya penerapan pembatasan sosial ini membuat bapak terkadang diduga akan membuat kerumunan. Apalagi semenjak memasuki era new normal tiga bulan lalu. Meski sudah memasuki era new normal tetap saja masih ada petugas satpol PP yang siaga berpatroli. Bukan sekali dua kali bapakku terkena tegur, bahkan aku ingat sekali malam itu, gerobak bapak masih buka hingga pukul delapan malam lebih. Alhamdulillah saat itu banyak yang membeli ayam bakar bapak. Karena terjadi sedikit keramaian petugas satpol PP langsung menegur bapak dan mengancam akan memberikan sanksi jika bapakku tetap keukeuh berjualan. Aku yang berada bersama bapak saat itu mencoba membela bapak. Hampir saja terjadi adu mulut. Bukan karena aku masih pelajar lantas aku tidak berani membela diri. Kami sudah menerapkan protokol kesehatan, kami memakai masker, bapak juga tidak menyediakan lagi kursi dan meja untuk makan di tempat, semua di bawa pulang. Aku yang membantu bapak pun selalu mengingatkan pembeli agar selalu menjaga jarak. Lantas kurang memperhatikan apalagi? Memangnya jika keluargaku tidak makan mereka yang bernamakan satpol PP itu akan memberi kami makan? Mereka tidak akan pusing memikirkan bagaimana hari esok, karena mereka digaji pemerintah yang bahkan berita di televisi kemarin mengabrkan bahwa gaji mereka akan naik pada kuartal kali ini. Selain itu peraturan dari pemerintah yang berubah-ubah juga membuat kami yang bekerja dilapangan kesulitan menyesuaikan jam malam. Kemarin batas jam malam pukul delapan besok-besok pukul sembilan. Tetapi akhirnya bapak melerai memintaku untuk tidak usah melawan lagi. Akhirnya bapak mengalah dengan meminta maaf dan segera menutup, membereskan segala peralatan kami dan bergegas pulang.

d. Resolusi

Dan hingga saat ini menjelang setahun kemunculan virus corona, kasus harian yang terinfeksi semakin menjadi-jadi. Sekolah pun masih dilakukan secara online. Namun alhamdulillah-nya pabrik tempat bapak dan ibu bekerja sudah mulai berangsur normal, gaji yang bapak dan ibu terima sudah kembali normal. Sedikit-demi sedikit penjualan ayam bakar pun perlahan normal kembali, meski sebelumnya jatuh bangun bapak berusah agar tetap bisa berjualan sampai-sampai dihadang satpol PP bahkan sampai adu mulut. Walaupun kembali diberlakukan pembatasan sosial dan jam malam, bapak tetap ingin berjualan demi menambah penghasilan, terlebih lagi tahun ini aku akan memasuki jenjang perguruan tinggi, sehingga bapak pasti akan membutuhkan dana lebih. Harapanku semoga virus corona ini cepat hilang sehingga bapak bisa bekerja dan berjualan ayam bakar dengan tenang tanpa takut diusir satpol PP dan ayam bakar bapak semakin ramai oleh pembeli.

 5. Kembangkanlah tahapan orientasi menjadi cerita utuh novelet dengan memperhatikan isi dan kebahasaan

Perjuangan untuk Tetap Bertahan

            Malam ini, tepatnya selepas matahari kembali ke peraduannya, muncul purnama baru. Saling menyapa dan melapor bahwa mereka akan saling berganti tugas. Terlihatnya purnama baru  menandakan telah tibanya bulan baru. Bulan yang agung dan penuh kemuliaan. Paling dinanti seluruh umat. Bulan Ramadhan. Meski hadirnya bulan Ramadhan tahun ini di tengah situasi yang berbeda, tetapi tidak menutup rasa suka cita setiap umat muslim untuk menyambut kedatangannya.

            Selepas diumumkannya 1 Ramadhan akan jatuh pada esok hari. Aku bergegas keluar rumah dan duduk di kursi serambi rumah. Entah kenapa sore ini rasanya gerah sekali. Mungkin akan turun hujan. Terlihat pohon-pohon sukun di depan rumah bergerak melambai, bergoyang perlahan mengikuti irama angin yang menerpa dahan-dahan mereka. Sedikit bisa mengurai panas dari dalam tubuhku. Sembari menikmati angin sepoi yang menyapa halus kulitku, aku memandang langit yang tampak cerah malam ini. Sepertinya awan mendung malu untuk datang, karena langit senja sore ini tampak indah sekali. Dalam diam aku bersyukur, aku dan keluargaku masih diberi kesehatan dan umur panjang hingga bisa bertemu kembali dengan Ramadhan di tahun ini.  Apalagi dalam situasi darurat kesehatan seperti saat ini. Aku bersyukur sekali masih diberi nikmat sehat.

            “Dek di mana Mas Dias? Sudah qamat kok belum sholat?”

            Sayup-sayup aku mendengar suara ibu, sepertinya dari dapur. Mendengar ibu yang bertanya mengenai keberadaanku. Aku bergegas masuk ke dalam dan menutup pintu.

            “Habis dari luar,bu. Ngadem.”, jawabku sambil berlalu ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu aku lantas langsung bersiap, memakai pakaian terbaik yang aku punya untuk menghadap Tuhan pemilik alam. Mencoba khusyu dan meresapi, membayangkan bahwa saat ini aku sedang berdialog langsung dengan penciptaku.

***

            Namaku Dias Maulana, anak pertama dari dua bersaudara. Seorang pelajar tingkat akhir di salah satu SMA di kotaku. “Mas, ayo ngaji, kemarin baru juz 10. Malam ini dilanjutin atau ulang dari awal aja, Mas? Biar nanti bisa khatam di akhir Ramadhan.” Yang baru bertanya itu adikku, Fathan namanya, usianya baru 11 tahun sekarang dia sedang duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Usia kami memang terpaut 6 tahun, meski begitu tidak ada jarak diantara kami. Fatahan dekat sekali dengan ku. Tapi anehnya meski sangat lengket dengan ku wajah dan sifat kami sangat berbeda bagai langit dan bumi.. Biasanya dia memang pergi ke majelis ta’lim di dekat rumah. Dan mengaji bersama teman dan Pak Ustadz Dudu. Tetapi karena sekarang berkumpul-kumpul itu dilarang, termasuk berkumpul untuk mnimba ilmu, maka sementara Fathan mengaji bersamaku.

            “Kalau menurut Mas sih, kita ulang ngajinya dari juz 1 aja, kita coba buat sehari baca satu juz. Siapa tahu nanti bisa khatam. Mumpung sekolah online juga.”, jawabku mencoba menjelaskan kepada adikku.

            “Ok, kita ulang dari juz 1, aku juga ingin khatam Al-Quran bulan ini.”, jawabnya dengan sungguh-sungguh. Lantas kami pun mulai mengaji sedikit sampai adzan isya berkumandang. Lalu kami bersiap untuk sholat isya dan tarawih berjamaah di rumah bersama bapak dan juga ibu.

            Pertama-tama yang membedakan anatar Ramadhan tahun ini dan tahun sebelum-sebelumnya adalah tidak ada pelaksanaan ibadah tarawih berjamaah di masjid. Padahal yang paling terasa membedakan anatar Ramadhan dan bulan lainnya adalah adanya ibadah tarawih. Tetapi untuk tahun ini kami harus berbesar hati, menerima kenyataan bahwa kami harus melaksankan tarawih dirumah berjamaah bersama keluarga. Meski sedikit kecewa tetapi aku tidak ingin melewatkan kesempatan yang sudah diberikan Tuhan. Aku akan memanfaatkan betul moment Ramadhan kali ini untuk banyak-banyak beribadah dan mendekatkan diri. Siapa tahu saja tahun ini aku bisa menuntaskan target-target ibadah yang biasanya hanya menjadi rencana.

***

            Sehabis melaksanakan ibadah tarawih bersama bapak, ibu, dan Fathan. Aku dan Fathan kembali melanjutkan mengaji. Rencana nya kami akan membaca sehari satu juz Al-Quran sehingga harapannya diakhir Ramadhan nanti kami bisa khatam Al-Quran. Sedikit tips mensiasati agar target membaca Al-Quran sehari satu juz bisa terlaksana. Ada beberapa cara, misalnya dengan dua lembar setiap sholat fardhu atau lima lembar sehabis sholat shubuh dan lima lembar sisanya sehabis tarawih. Terus lakukan berulang sampai hari ke tigapuluh. Begitu yang aku dengar dari ceramah salah satu Qari’ di stasiun televisi tadi.

            “Gimana ya pak, puasa udah mulai, tapi gaji belum cair. Bapak juga sudah dua minggu lebih ndak jualan ayam bakar. Mulai puasa gini bahan-bahan makanan pada naik.”

            “Iya, bu. Bapak juga ngerti. Tapi ya mau gimana lagi. Toh bukan kita aja bu yang mengalami, semua orang juga lagi mengalami kesulitan.”

            “Iya sih pak, tapi ya pabrik tuh harusnya mbok  ngerti gitu, seenggaknya setengahnya dulu gitu buat kita pegangan lebih.”

            “Tunggu aja dulu bu, sabar, kalau untuk makan sehari-hari kan masih ada simpanan hasil jualan kemrin-kemarin. Pakai dulu aja daripada ibu bingung.”

            Aku yang ingin ke dapur untuk minum karena haus sehabis mengaji tadi, tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan bapak. Memang biasanya di awal bulan puasa seperti saat ini ibu pasti ada uang lebih. Biasanya sepulang kerja ibu akan beli daging sapi untuk persiapan awal puasa. Tetapi tahun ini berbeda, kami sekeluarga cukup berpuas dengan makan lauk seadanya.

            Ibu dan bapak memang bekerja di salah satu pabrik tekstil di dekat rumah kami. Cukup ditempuh selama lima belas menit jika lewat gang sempit. Ibu harus bekerja karena ingin meringankan beban bapak pada waktu itu. Bapak yang tidak tega melihat ibu yang harus capek bekerja juga harus capek mengerjakan pekerjaan rumah berusaha membuka usaha yang dapat menambah pengahasilan. Kurang lebih dua tahun lalu, bapak akhirnya membuka usaha ayam bakar kecil-kecilan, hanya bermodalkan sebuah gerobak serta meja dan kursi buatan bapak sendiri, barangkali ada yang ingin makan di tempat. Awalnya dagangan bapak juga sepi, jarang ada yang beli. Tapi lambat laun dengan jatuh bangun, sedikit demi sedikit bapak bisa memiliki pelanggan tetap.

            Lokasi bapak berjualan pun terbilang strategis, berada di sebelah gang, di mana kapan saja orang berlalu lalang keluar masuk. Selain itu juga lokasi bapak berjualan berada di dipinggir jalan raya besar, yang biasa dilewati oleh para karyawan pabrik untuk pergi ataupun pulang kerja. Maklum daerah kami ini, terlebih di dekat rumahku adalah kawasan industri sehingga tidak aneh jika melihat banyak orang dengan nametag di dada dan baju yang hampir seragam, yang didominasi warna putih atau biru atau hijau muda. Berdasarkan pertimbangan ini bapak mantap untuk membuka usaha ayam bakar. Namun, sayangnya saat bapak sudah cukup mampu membuktikan jika bapak bisa membangun usahanya sendiri, ibu malah tidak ingin keluar dari pekerjaannya. Katanya sayang, lagian gaji yang ibu terima bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, kata ibu waktu itu.

            Kalau dipikir-pikir apa yang dibilang ibu saat itu benar juga, kita tidak ada yang tahu masa depan akan seperti apa. Ya contohnya saat seperti sekarang ini. Di mana semuanya terasa serba sulit. Pandemi covid-19 yang akhirnya datang dan masuk ke Indonesia berhasil mengubah semua aspek kehidupan. Makhluk kecil yang tidak terlihat tapi mampu membuat semua negara di dunia menjadi kalang kabut. Tidak hanya masalah dalam kesehatan tetapi juga dalam ekonomi dan pendidikan.

            Hampir sebulan selepas kasus pertama diumumkan, kasus aktif covid-19 semakin menigkat. Korban yang terpapar mulai banyak berjatuhan. Atas dasar mengantisipasi penyebaran yangsemakin meluas, akhirnya pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial, di mana dalam aturannya tertulis masyarakat sementara dilarang untuk bekerja, beribadah, dan belajar yang secara umum melarang kegiatan apapun yang dilakukan di luar dan yang melibatkan banyak orang. Sehingga akibatnya aku bapak, ibu dan Fathan mau tidak mau harus menerima kebijakan agar bekerja, beribadah,dan belajar dari rumah.

            Bagi pelajar sepertiku, ini bisa disiasati, belajar bisa menggunakan berbagai media yang dilakukan secara online, meskipun harus sedikit lebih banyak menambah pengeluaran untuk membeli kuota. Tetapi untuk bapak dan ibu, jelas mereka tidak bisa bekerja dari rumah. Pekerjaan ibu dan bapak bukan seperti pekerja katoran pada umumnya yang dapat dikerjakan dari rumah. Jadi ya bekerja dari rumah bagi ibu dan bapak sama saja seperti meliburkan dengan gaji yang juga berkurang. Jika bapak dan ibu diliburkan, praktis saja bapak dan ibu tidak akan dibayar dan jika tidak dibayar mereka tidak akan mendapat gaji. Inilah sedikit derita bagi para buruh.

            Sedangkan untuk berjualan ayam bakar bapak juga tidak berani. Kita tidak tahu semengerikan apa virus covid-19 ini. Inilah semua menjadi serba sulit. Bapak dan ibu bagai makan buah simalakama. Ingin keluar untuk mencari nafkah demi keluarga tetapi kahwatir akan kapan saja virus itu bisa menyerang. Berdasarkan berita yang aku lihat kemarin, virus ini bahkan tidak memandang siapa, apa pekerjaan mereka, tua atau muda. Siapapun dari kita berkemungkinan akan terserang. Tetapi jika bapak tidak bekerja hanya berdiam diri di rumah, bapak tidak akan punya penghasilan, jika tidak ada ada penghasilan, bagaimana bapak akan memenuhi kebutuhan rumah dan untuk makan sehari-hari? Mungkin itu yang sedang dirasakan bapak dan ibu. Terlihat sekali raut kebingungan di wajah mereka.

            “Apa mulai besok bapak mulai jualan lagi lagi ya? Uang sisa jualan waktu itu kayaknya cukup buat ibu belanja sama buat bapak jualan. Gimana?”, tanya bapak saat aku mulai masuk dapur. Aku yang mendengar peryataan bapak lagsung membulatkan mata. Apa bapak tidak memikirkan bagaimana resikonya jika bapak tetap memaksa berjualan?

            “Loh, jangan dong pak, situasi sekarang kan masih belum aman. Lihat di televisi pak, kasusnya bertambah terus, makin parah sekarang. Mas gak mau bapak terkena virus juga. Tunggu sampai situasi aman dulu pak.”, jawabku berapi-api. Tentu saja sebagai anak aku tidak terima jika bapak sampai nekat berjualan. Aku tidak mau terjadi sesuatu terhadap bapak.

            “Tapi mas, kalau bapak gak segera jualan, uang simpenan bapak juga bisa habis. Sedangkan situasi di pabrik juga belum memungkinkan buat diandalkan. Sebelum corona datang aja gaji bapak sudah tidak full, apalagi sekarang bapak gak tahu gaji bapak akan berapa.”

            “Iya Mas, kamu gak usah khawatir, bapak sama ibu pasti bakal tetap patuhi protokol kesehatan, saat berjualan juga pakai masker. Lagian seseorang yang terkena virus itu sudah digariskan sama Allah, Mas. Allah juga tahu niat bapak sama ibu keluar rumah ini buat apa, niat kami baik, kok, mencari rezeki untuk keluarga. Rezeki itu tidak ditunggu tetapi dijemput.”

            Kalau sudah ibu yang menjelaskan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mengiyakan. Toh, pasti bapak dan ibu sudah memikirkan semua nya dengan matang-matang. Aku tahu betul ibu seperti apa. Ibu pasti sudah mempertimbangkan baik buruk nya tindakan yang akan dipilih.

            “Gimana, Mas bolehkan? Mas gak usah khawatir, mas sama adek cukup doakan bapak dan ibu supaya selalu sehat dan dilindungi oleh Allah, dimudahkan juga dalam mencari rezeki. Oke!”, Kurasakan elusan tangan bapak di pundakku. Tangan yang kuat yang siap menanggung beban keluarga. Tangan yang setiap hari digunakan untuk bekerja mencari nafkah.

            “Oke, tapi untuk besok Mas mau nemenin bapak buat jualan”

            “Gak ada penolakan, gimana?” sanggahku cepat saat melihat bapak yang tampaknya akan melayangkan protes.

            “Boleh ya pak, bu, Cuma bantu bapak bawa peralatan ke depan gang, sama siap-siapin. Nanti saat menjalang maghrib mas pulang deh. Janji”, ucapku sambil mengacungkan tangan membentuk huruf V.

            “Iya, iya, boleh deh.”, ucap ibu sambil mengambil kangkung yang sudah selesai bapak potong untuk dicuci dan akan dimasak saat sahur besok.

            “Yeay, makasih bu, Mas sayang sama ibu.”, ujarku sambil berdiri dan memeluk ibu yang tengah mencuci kangkung.

             

           

 

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusun Artikel

Menulis Teks Editorial

Menulis Cerita Sejarah Pribadi