Merancang Novel
Pembelajaran
2 : Merancang Novel
2. Tuliskan satu peristiwa sosial yang menarik
perhatian, rumuskan masalah-masalah yang ingin diungkapkan pada rancangan novel
Peristiwa Sosial |
Masalah |
Tema |
Banyak masyarakat yang harus
kehilangan pendapatan akibat adanya pandemi covid-19 |
1. Banyak pedagang kecil yang terpaksa
menutup usaha mereka karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat yang
dilakukan pemerintah |
Perjuangan sebuah keluarga penjual kaki lima untuk
mempertahankan usaha yang dimilikinya dari ancaamn tidak bisa berjualan lagi
di tengah situasi covid-19 |
2. Para pedagang pun tak jarang sering adu
mulut dengan petugas satpol PP demi mempertahankan barang dagangan mereka
agar tidak ditutup |
||
3. Seringnya terjadi perubahan aturan dari
pemerintah, membuat para pedagang bingung, selain itu juga mereka mengalami
kerugian penurunan omset. |
||
4. Dengan adanya covid-19 ini banyak
masyarkat yang kesulitan untuk menghidupi keluarganya, akibat adanya
pembatasan sosial |
3. Rumuskan tema, amanat, dan rancangan peristiwa/alur
singkat yang sudah diamati
Tema |
Amanat |
Rancangan
Peristiwa/Alur Singkat |
Perjuangan sebuah keluarga penjual kaki lima untuk
mempertahankan usaha yang dimilikinya dari ancaman tidak bisa berjualan lagi
di tengah situasi covid-19 |
1.
Kita harus berusaha semaksimal mungkin dalam berikhtiar dan berusaha serta
yakin dengan apa yang akan kita kerjakan, karena Tuhan akan membantu kita
hambanya yang senantiasa selalu berusaha |
Pandemi
covid-19 selain membawa pengaruh terhadap kesehatan nasional, juga berdampak
pada ekonomi masyarakat. Salah satunya terhadap ekonomi sebuah keluarga
pedagang kaki lima, di salah satu kota kecil. Kios kaki lima biasa yang hanya
ditutup terpal yang sangat sederhana. Tetapi pandemi mengubah segalanya,
warung mereka yang biasanya ramai pembeli mendadak sepi. Omset mereka
mengalami penurunan. Bukan itu saja, tak jarang mereka selalu ditegur petugas
karena dicuragai akan menimbulkan kerumunan. Padahal dari usaha berdagang
pecel lele inilah mereka bisa menyambung hidup. Demi mensiasatinya mereka
melakukan berbagai upaya agar dapat terus mempertahankan usaha nya agar bisa
terus berjualan demi bisa menyambung hidup. |
4. Tuliskanlah rancangan alur novelet
Jenis Alur |
Tahapan Alur |
Uraian Peristiwa |
Maju |
a.
Orientasi |
Tak
terasa bulan Ramadhan telah tiba lagi, bersyukur rasanya dapat kembali
bertemu dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah. Meski dengan situasi yang
serba berbeda tidak menyurutkan semangatku dan keluargaku untuk beribadah di
bulan Ramadhan ini. Pagi ini rumah kami masih ramai karena bapak ibu, aku,
dan adikku sedang kumpul di rumah. Bukan sedang menjalani libur atau cuti
tetapi kami semua dipaksa untuk libur. Aku dan adikku dipaksa libur oleh
sekolah begitu pula kedua orangtuaku yang dipaksa libur oleh pabrik tempat
mereka bekerja. Pandemi yang menjangkit Indonesia, setiap harinya semakin
parah, angka korban yang terpapar virus pun semakin meningkat. Hal ini
membuat pemerintah membuat peraturan pembatasan sosial, sehingga mau tidak
mau kami harus terima ketika diharuskan untuk mengurangi rutinitas kami mulai
hari ini. Selain bekerja sebagai buruh pabrik, bapak dan ibu juga berjualan
ayam bakar di depan gang rumah kami. Alhamdulillah dari hasil berjualan ayam
bakar bisa menambah penghasilan keluarga untuk kebutuhan sehari-hari. Bapak dan
ibu berjualan ayam bakar di sebuah gerobak sederhana yang dilengkapi satu
meja dan dua kursi panjang, barangkali ada pembeli yang ingin makan di
tempat. Meski sangat sederhana tetapi ayam bakar bapak ini sangat bersih dan
dijamin halal. Biasanya bapak akan berjualan dari pukul lima sore hingga pukul
sembilan malam, karena besok pagi bapak juga harus bekerja pagi di pabrik. Biasanya
yang menemani bapak berjualan kalau tidak aku ya ibu. Kalau ibu capek, maka
aku yang harus menggantikan untuk menemani bapak berjualan. Tetapi sudah hampir
dua minggu lebih bapak tidak berjualan ayam bakar, dikarenakan pandemi. Untuk
sehari-hari kami hanya memanfaatkan uang sisa jualan, karena bapak sendiri
belum menerima gaji dari pabrik. |
b.
Komplikasi |
Hari
ini seperti biasa aku membantu bapak untuk berjualan ayam bakar di depan gang
rumah kami. Meski rumahku bukan di pusat kota, tetapi kota jalan raya di
depan gang rumah ku ini merupakan satu-satunya jalan menuju pusat industri,
tempat para karyawan bekerja. Sehingga lokasinya tergolong strategis, karena
biasanya para karyawan akan mampir untuk membeli ayam bakar bapak sepulang
kerja. Tetapi hari ini berbeda, karena ini kali pertama lagi kami keluar
rumah untuk berjualan, setelah sebelumnya dihimbau untuk berdiam di rumah
saja. Situasi jalan cukup sepi, tidak ada kemacetan, mungkin karena hampir
semua karyawan pabrik di beberapa perusahaan diliburkan. Padahal ini Bulan
Ramadhan, biasanya di waktu menjlang berbuka ini akan ramai yang membeli ayam
bakar bapak untuk santap berbuka puasa, tetapi sekarang sepi hanya satu dua
orang. Setelah selama dua minggu lebih mencoba untuk mematuhi aturan
pemerintah, rasa-rasanya bapak tidak sanggup jika harus berdiam diri tidak
berjualan. Akhirnya bapak bulat bertekad akan tetap berjualan. Karena kata
bapak, jika bapak tidak berjualan, bapak tidak ada penghasilan. Meskipun
masih ada pemasukan dari pabrik tempat bapak kerja, tetap saja rasa-rasanya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pabrik tempat bapak bekerja pun
memang sedang sedikit bermasalah sebelum corona ini datang, gaji yang
harusnya bapak terima secara full,
mengalami pengurang karena pabrik sedang sepi orderan katanya. Jadi daripada
berdiam diri di rumah sementara penghasilan tidak ada, bapak memutuskan untuk
tetap keluar berjualan ayam bakar. |
|
c.
Evaluasi |
Tetapi
perjuangan bapak untuk tetap berjualan tidaklah mudah, bapak mesti bertaruh
nyawa karena setiap malam berada diluar rumah yang bisa kapan saja terserang
virus. Bapak juga meminta agar aku dan ibu tak perlu membantunya berjualan
selama masa pandemi ini. Toh, pembeli yang datang juga sedikit, kata bapak
tempo hari. Entah kapan ini akan berakhir bahkan ini baru masuk tepat sebulan
saat virus ini datang ke negara kami. Tapi kami sudah merasa sangat
terhimpit. Melihat bapak yang setiap malam sejak minggu lalu pulang ke rumah
mendorong gerobak yang masih banyak isinya. Membuatku tidak tega. Aku yang
masih berada di tingkat akhir SMA ini, tidak bisa berbuat banyak. Gaji yang
bapak terima dari pabrik pun semakin mengecil angkanya, seiring dengan
perpanjangan libur yang dikeluarkan pimpinan pabrik.akhirnya dengan uang
seadanya kami mencoba untuk tetap bertahan , mencoba untuk terus berjualan. Meski
hanya hitungan jari yang membeli ayam bakar bapak, tetapi bapak tetap senang.
Dan terus bertekad tetap berjualan bagaimana pun kondisinya. Dan
situasi ini terus berlanjut hingga enam bulan selepas pandemi mulai
menyerang. Tidak ada yang berubah aku dan adikku tetap sekolah dari rumah. Sementara
bapak dan ibu mulai kembali bekerja di pabrik dengan sistem seminggu tiga
hari kerja. Gaji bapak dan ibu belum ada kenaikan, sekarang justru mereka dibayar
dengan sistem harian. Jelas ini semakin mempersulit perekonomian keluarga
kami. Bapak juga masih tetap menjual ayam bakar meski hanya seminggu tiga
kali. Adanya penerapan pembatasan sosial ini membuat bapak terkadang diduga
akan membuat kerumunan. Apalagi semenjak memasuki era new normal tiga bulan lalu. Meski sudah memasuki era new normal tetap saja masih ada
petugas satpol PP yang siaga berpatroli. Bukan sekali dua kali bapakku
terkena tegur, bahkan aku ingat sekali malam itu, gerobak bapak masih buka
hingga pukul delapan malam lebih. Alhamdulillah saat itu banyak yang membeli
ayam bakar bapak. Karena terjadi sedikit keramaian petugas satpol PP langsung
menegur bapak dan mengancam akan memberikan sanksi jika bapakku tetap keukeuh
berjualan. Aku yang berada bersama bapak saat itu mencoba membela bapak. Hampir
saja terjadi adu mulut. Bukan karena aku masih pelajar lantas aku tidak
berani membela diri. Kami sudah menerapkan protokol kesehatan, kami memakai
masker, bapak juga tidak menyediakan lagi kursi dan meja untuk makan di
tempat, semua di bawa pulang. Aku yang membantu bapak pun selalu mengingatkan
pembeli agar selalu menjaga jarak. Lantas kurang memperhatikan apalagi? Memangnya
jika keluargaku tidak makan mereka yang bernamakan satpol PP itu akan memberi
kami makan? Mereka tidak akan pusing memikirkan bagaimana hari esok, karena mereka
digaji pemerintah yang bahkan berita di televisi kemarin mengabrkan bahwa
gaji mereka akan naik pada kuartal kali ini. Selain itu peraturan dari
pemerintah yang berubah-ubah juga membuat kami yang bekerja dilapangan
kesulitan menyesuaikan jam malam. Kemarin batas jam malam pukul delapan
besok-besok pukul sembilan. Tetapi akhirnya bapak melerai memintaku untuk
tidak usah melawan lagi. Akhirnya bapak mengalah dengan meminta maaf dan
segera menutup, membereskan segala peralatan kami dan bergegas pulang. |
|
d.
Resolusi |
Dan
hingga saat ini menjelang setahun kemunculan virus corona, kasus harian yang
terinfeksi semakin menjadi-jadi. Sekolah pun masih dilakukan secara online. Namun
alhamdulillah-nya pabrik tempat bapak dan ibu bekerja sudah mulai berangsur
normal, gaji yang bapak dan ibu terima sudah kembali normal. Sedikit-demi
sedikit penjualan ayam bakar pun perlahan normal kembali, meski sebelumnya
jatuh bangun bapak berusah agar tetap bisa berjualan sampai-sampai dihadang
satpol PP bahkan sampai adu mulut. Walaupun kembali diberlakukan pembatasan
sosial dan jam malam, bapak tetap ingin berjualan demi menambah penghasilan,
terlebih lagi tahun ini aku akan memasuki jenjang perguruan tinggi, sehingga
bapak pasti akan membutuhkan dana lebih. Harapanku semoga virus corona ini
cepat hilang sehingga bapak bisa bekerja dan berjualan ayam bakar dengan
tenang tanpa takut diusir satpol PP dan ayam bakar bapak semakin ramai oleh
pembeli. |
Perjuangan
untuk Tetap Bertahan
Malam ini, tepatnya selepas matahari kembali ke peraduannya,
muncul purnama baru. Saling menyapa dan melapor bahwa mereka akan saling berganti
tugas. Terlihatnya purnama baru menandakan
telah tibanya bulan baru. Bulan yang agung dan penuh kemuliaan. Paling dinanti
seluruh umat. Bulan Ramadhan. Meski hadirnya bulan Ramadhan tahun ini di tengah
situasi yang berbeda, tetapi tidak menutup rasa suka cita setiap umat muslim
untuk menyambut kedatangannya.
Selepas diumumkannya 1 Ramadhan akan jatuh pada esok
hari. Aku bergegas keluar rumah dan duduk di kursi serambi rumah. Entah kenapa
sore ini rasanya gerah sekali. Mungkin akan turun hujan. Terlihat pohon-pohon
sukun di depan rumah bergerak melambai, bergoyang perlahan mengikuti irama
angin yang menerpa dahan-dahan mereka. Sedikit bisa mengurai panas dari dalam
tubuhku. Sembari menikmati angin sepoi yang menyapa halus kulitku, aku
memandang langit yang tampak cerah malam ini. Sepertinya awan mendung malu
untuk datang, karena langit senja sore ini tampak indah sekali. Dalam diam aku
bersyukur, aku dan keluargaku masih diberi kesehatan dan umur panjang hingga
bisa bertemu kembali dengan Ramadhan di tahun ini. Apalagi dalam situasi darurat kesehatan
seperti saat ini. Aku bersyukur sekali masih diberi nikmat sehat.
“Dek di mana Mas Dias? Sudah qamat kok belum sholat?”
Sayup-sayup aku mendengar suara ibu, sepertinya dari
dapur. Mendengar ibu yang bertanya mengenai keberadaanku. Aku bergegas masuk ke
dalam dan menutup pintu.
“Habis dari luar,bu. Ngadem.”, jawabku sambil berlalu ke
kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu aku lantas langsung bersiap,
memakai pakaian terbaik yang aku punya untuk menghadap Tuhan pemilik alam. Mencoba
khusyu dan meresapi, membayangkan bahwa saat ini aku sedang berdialog langsung
dengan penciptaku.
***
Namaku Dias Maulana, anak pertama dari dua bersaudara. Seorang
pelajar tingkat akhir di salah satu SMA di kotaku. “Mas, ayo ngaji, kemarin
baru juz 10. Malam ini dilanjutin atau ulang dari awal aja, Mas? Biar nanti
bisa khatam di akhir Ramadhan.” Yang baru bertanya itu adikku, Fathan namanya,
usianya baru 11 tahun sekarang dia sedang duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Usia kami
memang terpaut 6 tahun, meski begitu tidak ada jarak diantara kami. Fatahan dekat
sekali dengan ku. Tapi anehnya meski sangat lengket dengan ku wajah dan sifat
kami sangat berbeda bagai langit dan bumi.. Biasanya dia memang pergi ke
majelis ta’lim di dekat rumah. Dan mengaji bersama teman dan Pak Ustadz Dudu. Tetapi
karena sekarang berkumpul-kumpul itu dilarang, termasuk berkumpul untuk mnimba
ilmu, maka sementara Fathan mengaji bersamaku.
“Kalau menurut Mas sih, kita ulang ngajinya dari juz 1
aja, kita coba buat sehari baca satu juz. Siapa tahu nanti bisa khatam. Mumpung
sekolah online juga.”, jawabku mencoba menjelaskan kepada adikku.
“Ok, kita ulang dari juz 1, aku juga ingin khatam
Al-Quran bulan ini.”, jawabnya dengan sungguh-sungguh. Lantas kami pun mulai
mengaji sedikit sampai adzan isya berkumandang. Lalu kami bersiap untuk sholat
isya dan tarawih berjamaah di rumah bersama bapak dan juga ibu.
Pertama-tama yang membedakan anatar Ramadhan tahun ini
dan tahun sebelum-sebelumnya adalah tidak ada pelaksanaan ibadah tarawih
berjamaah di masjid. Padahal yang paling terasa membedakan anatar Ramadhan dan
bulan lainnya adalah adanya ibadah tarawih. Tetapi untuk tahun ini kami harus
berbesar hati, menerima kenyataan bahwa kami harus melaksankan tarawih dirumah
berjamaah bersama keluarga. Meski sedikit kecewa tetapi aku tidak ingin
melewatkan kesempatan yang sudah diberikan Tuhan. Aku akan memanfaatkan betul
moment Ramadhan kali ini untuk banyak-banyak beribadah dan mendekatkan diri. Siapa
tahu saja tahun ini aku bisa menuntaskan target-target ibadah yang biasanya
hanya menjadi rencana.
***
Sehabis melaksanakan ibadah tarawih bersama bapak, ibu,
dan Fathan. Aku dan Fathan kembali melanjutkan mengaji. Rencana nya kami akan
membaca sehari satu juz Al-Quran sehingga harapannya diakhir Ramadhan nanti
kami bisa khatam Al-Quran. Sedikit tips mensiasati agar target membaca Al-Quran
sehari satu juz bisa terlaksana. Ada beberapa cara, misalnya dengan dua lembar
setiap sholat fardhu atau lima lembar sehabis sholat shubuh dan lima lembar
sisanya sehabis tarawih. Terus lakukan berulang sampai hari ke tigapuluh. Begitu
yang aku dengar dari ceramah salah satu Qari’ di stasiun televisi tadi.
“Gimana ya pak, puasa udah mulai, tapi gaji belum cair. Bapak
juga sudah dua minggu lebih ndak jualan ayam bakar. Mulai puasa gini
bahan-bahan makanan pada naik.”
“Iya, bu. Bapak juga ngerti. Tapi ya mau gimana lagi. Toh
bukan kita aja bu yang mengalami, semua orang juga lagi mengalami kesulitan.”
“Iya sih pak, tapi ya pabrik tuh harusnya mbok ngerti gitu, seenggaknya setengahnya dulu gitu
buat kita pegangan lebih.”
“Tunggu aja dulu bu, sabar, kalau untuk makan sehari-hari
kan masih ada simpanan hasil jualan kemrin-kemarin. Pakai dulu aja daripada ibu
bingung.”
Aku yang ingin ke dapur untuk minum karena haus sehabis
mengaji tadi, tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan bapak. Memang biasanya
di awal bulan puasa seperti saat ini ibu pasti ada uang lebih. Biasanya sepulang
kerja ibu akan beli daging sapi untuk persiapan awal puasa. Tetapi tahun ini
berbeda, kami sekeluarga cukup berpuas dengan makan lauk seadanya.
Ibu dan bapak memang bekerja di salah satu pabrik tekstil
di dekat rumah kami. Cukup ditempuh selama lima belas menit jika lewat gang
sempit. Ibu harus bekerja karena ingin meringankan beban bapak pada waktu itu.
Bapak yang tidak tega melihat ibu yang harus capek bekerja juga harus capek
mengerjakan pekerjaan rumah berusaha membuka usaha yang dapat menambah
pengahasilan. Kurang lebih dua tahun lalu, bapak akhirnya membuka usaha ayam
bakar kecil-kecilan, hanya bermodalkan sebuah gerobak serta meja dan kursi
buatan bapak sendiri, barangkali ada yang ingin makan di tempat. Awalnya dagangan
bapak juga sepi, jarang ada yang beli. Tapi lambat laun dengan jatuh bangun,
sedikit demi sedikit bapak bisa memiliki pelanggan tetap.
Lokasi bapak berjualan pun terbilang strategis, berada di
sebelah gang, di mana kapan saja orang berlalu lalang keluar masuk. Selain itu
juga lokasi bapak berjualan berada di dipinggir jalan raya besar, yang biasa
dilewati oleh para karyawan pabrik untuk pergi ataupun pulang kerja. Maklum daerah
kami ini, terlebih di dekat rumahku adalah kawasan industri sehingga tidak aneh
jika melihat banyak orang dengan nametag di dada dan baju yang hampir seragam,
yang didominasi warna putih atau biru atau hijau muda. Berdasarkan pertimbangan
ini bapak mantap untuk membuka usaha ayam bakar. Namun, sayangnya saat bapak
sudah cukup mampu membuktikan jika bapak bisa membangun usahanya sendiri, ibu
malah tidak ingin keluar dari pekerjaannya. Katanya sayang, lagian gaji yang
ibu terima bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, kata ibu waktu itu.
Kalau dipikir-pikir apa yang dibilang ibu saat itu benar
juga, kita tidak ada yang tahu masa depan akan seperti apa. Ya contohnya saat
seperti sekarang ini. Di mana semuanya terasa serba sulit. Pandemi covid-19
yang akhirnya datang dan masuk ke Indonesia berhasil mengubah semua aspek
kehidupan. Makhluk kecil yang tidak terlihat tapi mampu membuat semua negara di
dunia menjadi kalang kabut. Tidak hanya masalah dalam kesehatan tetapi juga
dalam ekonomi dan pendidikan.
Hampir sebulan selepas kasus pertama diumumkan, kasus
aktif covid-19 semakin menigkat. Korban yang terpapar mulai banyak berjatuhan. Atas
dasar mengantisipasi penyebaran yangsemakin meluas, akhirnya pemerintah
menerapkan kebijakan pembatasan sosial, di mana dalam aturannya tertulis
masyarakat sementara dilarang untuk bekerja, beribadah, dan belajar yang secara
umum melarang kegiatan apapun yang dilakukan di luar dan yang melibatkan banyak
orang. Sehingga akibatnya aku bapak, ibu dan Fathan mau tidak mau harus
menerima kebijakan agar bekerja, beribadah,dan belajar dari rumah.
Bagi pelajar sepertiku, ini bisa disiasati, belajar bisa
menggunakan berbagai media yang dilakukan secara online, meskipun harus sedikit
lebih banyak menambah pengeluaran untuk membeli kuota. Tetapi untuk bapak dan
ibu, jelas mereka tidak bisa bekerja dari rumah. Pekerjaan ibu dan bapak bukan
seperti pekerja katoran pada umumnya yang dapat dikerjakan dari rumah. Jadi ya
bekerja dari rumah bagi ibu dan bapak sama saja seperti meliburkan dengan gaji
yang juga berkurang. Jika bapak dan ibu diliburkan, praktis saja bapak dan ibu
tidak akan dibayar dan jika tidak dibayar mereka tidak akan mendapat gaji. Inilah
sedikit derita bagi para buruh.
Sedangkan untuk berjualan ayam bakar bapak juga tidak
berani. Kita tidak tahu semengerikan apa virus covid-19 ini. Inilah semua
menjadi serba sulit. Bapak dan ibu bagai makan buah simalakama. Ingin keluar
untuk mencari nafkah demi keluarga tetapi kahwatir akan kapan saja virus itu
bisa menyerang. Berdasarkan berita yang aku lihat kemarin, virus ini bahkan
tidak memandang siapa, apa pekerjaan mereka, tua atau muda. Siapapun dari kita
berkemungkinan akan terserang. Tetapi jika bapak tidak bekerja hanya berdiam
diri di rumah, bapak tidak akan punya penghasilan, jika tidak ada ada
penghasilan, bagaimana bapak akan memenuhi kebutuhan rumah dan untuk makan
sehari-hari? Mungkin itu yang sedang dirasakan bapak dan ibu. Terlihat sekali
raut kebingungan di wajah mereka.
“Apa mulai besok bapak mulai jualan lagi lagi ya? Uang sisa
jualan waktu itu kayaknya cukup buat ibu belanja sama buat bapak jualan. Gimana?”,
tanya bapak saat aku mulai masuk dapur. Aku yang mendengar peryataan bapak lagsung
membulatkan mata. Apa bapak tidak memikirkan bagaimana resikonya jika bapak
tetap memaksa berjualan?
“Loh, jangan dong pak, situasi sekarang kan masih belum
aman. Lihat di televisi pak, kasusnya bertambah terus, makin parah sekarang. Mas
gak mau bapak terkena virus juga. Tunggu sampai situasi aman dulu pak.”,
jawabku berapi-api. Tentu saja sebagai anak aku tidak terima jika bapak sampai
nekat berjualan. Aku tidak mau terjadi sesuatu terhadap bapak.
“Tapi mas, kalau bapak gak segera jualan, uang simpenan
bapak juga bisa habis. Sedangkan situasi di pabrik juga belum memungkinkan buat
diandalkan. Sebelum corona datang aja gaji bapak sudah tidak full, apalagi sekarang bapak gak tahu
gaji bapak akan berapa.”
“Iya Mas, kamu gak usah khawatir, bapak sama ibu pasti
bakal tetap patuhi protokol kesehatan, saat berjualan juga pakai masker. Lagian
seseorang yang terkena virus itu sudah digariskan sama Allah, Mas. Allah juga
tahu niat bapak sama ibu keluar rumah ini buat apa, niat kami baik, kok,
mencari rezeki untuk keluarga. Rezeki itu tidak ditunggu tetapi dijemput.”
Kalau sudah ibu yang menjelaskan aku tidak bisa berbuat
apa-apa lagi, selain mengiyakan. Toh, pasti bapak dan ibu sudah memikirkan
semua nya dengan matang-matang. Aku tahu betul ibu seperti apa. Ibu pasti sudah
mempertimbangkan baik buruk nya tindakan yang akan dipilih.
“Gimana, Mas bolehkan? Mas gak usah khawatir, mas sama
adek cukup doakan bapak dan ibu supaya selalu sehat dan dilindungi oleh Allah,
dimudahkan juga dalam mencari rezeki. Oke!”, Kurasakan elusan tangan bapak di
pundakku. Tangan yang kuat yang siap menanggung beban keluarga. Tangan yang
setiap hari digunakan untuk bekerja mencari nafkah.
“Oke, tapi untuk besok Mas mau nemenin bapak buat jualan”
“Gak ada penolakan, gimana?” sanggahku cepat saat melihat
bapak yang tampaknya akan melayangkan protes.
“Boleh ya pak, bu, Cuma bantu bapak bawa peralatan ke
depan gang, sama siap-siapin. Nanti saat menjalang maghrib mas pulang deh. Janji”,
ucapku sambil mengacungkan tangan membentuk huruf V.
“Iya, iya, boleh deh.”, ucap ibu sambil mengambil
kangkung yang sudah selesai bapak potong untuk dicuci dan akan dimasak saat
sahur besok.
“Yeay, makasih bu, Mas sayang sama ibu.”, ujarku sambil
berdiri dan memeluk ibu yang tengah mencuci kangkung.
10/02/2021
BalasHapus